Selayang Pandang dalam Memahami
Setiap orang tua
memiliki hak dan kewajiban kepada anak-anaknya, juga seorang anak pun memiliki
hak dan kewajiban kepada kedua orang tua. Dua hal yang memiliki keterkaitan penting
yang diketahui melalui makna tersirat Al Qur’an. Salah satu hak anak adalah mendapatkan
pendidikan dimana orang tua berkewajiban memfasilitasi hal tersebut. Menurut
Ahmad D Marimba pendidikan merupakan bimbingan jasmani dan rohani dari pendidik
yang dilakukan secara sadar guna terbentuknya kepribadian yang utama. Bimbingan
jasmani sebagai esensi pengajaran mengenai fisik sedangkan, bimbingan rohani
berkaitan dengan nilai-nilai keagamaan. Bimbingan jasmani dan rohani harus
berjalan beriringan guna mendapatkan output yang sesuai hakikat pendidikan.
Salah satu komponen penting dalam pendidikan adalah membaca. Membaca sebagai
jalan memandang dunia, ayat pertama yang turun juga merupakan perintah membaca.
Membaca memiliki arti luas, bukan hanya sekedar huruf alphabet yang disusun
sehingga memiliki arti. Fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan juga
dilalui dengan adanya membaca situasi dan kondisi.
Pembekalan anak
mengenai bimbingan rohani bisa dijalani dengan proses mengaji secara bertahap
bermula dari iqro, juz ‘amma, qur’an dan kitab-kitab. Pada tingkatan iqro’ juga
memiliki tahapan berawal dari jilid satu, dua hingga enam. Berawal dari
huruf-huruf hijaiyah yang tertulis rapi hingga huruf hijaiyah yang
digabung-gabungkan. Pada tingkatan inilah awal mula diriku berinteraksi dengan
tulisan arab sekitar umur empat tahun. Gaya bahasa anak kecil dalam melafalkan
seringkali tidak sesuai dengan bunyi sesungguhnya, hal ini dapat berakibat
fatal ketika terus-menerus dipakai hingga dewasa kelak. Oleh karena itu,
pentingnya bimbingan orang tua maupun guru sesuai tingkatannya. Seiring berjalannya
usia, pada tingkatan juz ‘amma diri ini diharuskan menghafalkan surat-suratan
pendek ini. Bergantian mengantri pada guru ngaji bersama teman-teman merupakan
hal mengasyikan. Hingga tak terasa al qur’an akan khatam. Pada akhir tingkat
ini diadakannya khotmil qur’an sekitar 28 anak yang masing-masing anak
mendapatkan jatah membaca surat diatas panggung, disaksikan banyak orang. Hal
terindah adalah ketika menaiki panggung khotmil qur’an disertai pemanggilan
nama kita dan orang tua kita. Betapa bahagianya orang tua kita, melihat
anak-anaknya kini telah berhasil mengkhatamkan al qur’an. Kebahagiaan banyak
dirasakan semua orang, terutama guru. Beliau sebagai obor api yang
menyambungkan nyala pada lilin-lilin. Namun, ada yang lebih penting dari sekedar kebahagiaan. Yakni seberapa kuat
dan mampu akhlaqnya. Pada khotmil qur’an para malaikat
menyaksikan dan ikut berdo’a kepada Rabb.
Proses mengaji
tidak berhenti karena telah menyelesaikan 30 juz, justru karena itu kita akan
lebih digembleng dengan jejalan-jejalan lebih banyak. Penguatan dari segi
pelafalan, fasih tidaknya bacaan. Hingga pengulangan ilmu tajwid bersumber
syarah kitab Hidayatussibyan yang diterjemahkan pada kitab Syifauljinan.
Tanda-tanda seperti imalah, isymam dan lain-lain yang justru membuat diri ini
sadar, bahwa selama ini selama membaca al qur’an masih memiliki kekeliruan. Dimasa
kini yang beranggapan jika sudah mengkhatamkan al qur’an pada kelas diniyah
merupakan tahap finish dalam belajar ilmu agama ditambah usia yang sudah remaja
keatas adalah masalah besar umat islam dimasa sekarang. Hal itu membuat diri
ini menangis, mengingat pentingnya mempelajari al qur’an.
Penulis dalam
memperdalam ilmu agama melalui bimbingan orang tua hingga guru ngaji (kyai
maupun nyai). Bermula sejak usia empat tahun sering diajak ke mushola serta
mengikuti kegiatan-kegiatan mengaji. Setiap hari dimulai menjelang maghrib
hingga isya, dalam menunggu waktu isya terdapat kegiatan mengaji (ngaji
sorogan) terhadap Bu Nyai. Menginjak usia TK, diri ini dimasukan kedalam taman
kanak islam guna menyokong ilmu agama. Pada masa ini, diri ini mulai paham
dengan angka-angka arab, menulis huruf hijaiyyah, menulis bismillah dengan arab
hingga sapaan-sapaan orang arab. Seperti shobahul khoir, masaaul khoir dan
lain-lain. Pada masa ini, penulis menghabiskan waktu pagi menjelang siang di TK
kemudian malam menjelang maghrib di mushola guna mengaji.
Berlanjut pada masa
selanjutnya yaitu, diri ini masuk di bangku sekolah dasar. Semester awal
dilalui dengan baik, pertemuan mata pelajaran keagamaan dalam seminggu hanya
dua jam pelajaran. Maka tak heran, nilai keagamaanku tinggi karena ngaji
diniyahku membantu mata pelajaran ini. Suatu ketika aku mendapatkan PR di
tempat mengajiku untuk menulis Surat Al Fatihah. Ternyata, aku lupa menulis
lafal bismillah kemudian aku bertanya kepada ayahku. Semenjak itu, pada
kenaikan kelas ke tingkat 2 sekolah dasar. Akhirnya aku dipindah ke madrasah
ibtidaiyah guna mendapatkan mata pelajaran keagamaan yang lebih banyak. Jenjang
pendidikan formalku dilalui melalui lembaga madrasah. Madrasah Ibtidaiyah,
Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah hingga perguruan tinggi pun berada di
naungan islami. Hal ini, tak luput karena orang tua menginginkan agar diri ini
mampu berpegang teguh juga berpengetahuan tentang agamanya. Tak hanya itu, masa
mengaji di mushola itu hanya sampai tamat madrasah tsanawiyah. Pada masa aliyah,
diri ini dimasukan di pondok pesantren. Mengaji dan belajar seperti dua
puluh empat jam full. Kemudian berlanjut, merantau di Yogyakarta untuk
berkuliah juga mengaji di pondok pesantren.
Dalam memperdalam
ilmu agama dan ilmu dunia, orang tua ku mempercayaiku hingga melepas di kota.
Pesannya singkat “seimbanglah antara
keduanya akhirat dikejar, dunia mengikuti”. Berbekal pesan ini kulalui
hari-hari sudah delapan bulan berjalan. Mengaji al qur’an, kitab-kitab dan juga
prihatin (riyadoh). Kegiatanku tak hanya melulu kuliah dan ngaji. Tujuan
tri dharma perguruan tinggi mulai kuterapkan dengan mengkorelasikan kewajibanku
sebagai santri (nguri-nguri agama Gusti Allah) melalui kegiatan mengajar di
Taman Pendidikan Al qur’an. Mengajar membaca huruf hijaiyah melalui Iqro’ pada
anak-anak usia dibawah dua belas tahun. Dalam seminggu aku mengajar di dua
tempat. Dimulai setelah ashar hingga setengah enam. Materi yang diajarkan juga
tentang aqidah, akhlak hingga hafalan surat-surat dan doa sehari-hari.
Inspirasi yang mampu
menggerakan hati ini agar melakukan hal tersebut tak lain karena Abah. Beliau
pengasuh pondokku saat ini. Sosok kyai yang kharismatik, mencontohkan langsung
pada santri-santri nya agar bertingkah laku sesuai sosok suri tauladan kita
Nabi Agung Muhammad SAW. Ketika mengajar bandongan kitab riyadhussholihin
beliau selalu menjejali pesan-pesan sebagai bekal hidup yang tak lain adalah
tindakan nyata nanti ketika terjun di masyarakat.
Santri sebagai pelopor menghidupkan agama Allah, tak hanya itu santri harus tetap eksis di era masa kini. Tidak boleh
menjadi sampah di masyarakat, harus mampu berkontribusi.
Salah satu pesan yang setiap hari diucapkan oleh beliau yaitu “santri
nek ora ngaji yo mulang ngaji” artinya santri itu ya ngaji kalau tidak ngaji
yang mengajar ngaji. Segala ucapan pesan-pesan beliau tidak hanya sekedar
formalitas pemberian nasehat dari guru ke murid. Tentu, semua itu telah beliau
lalui ketika muda dulu. Semua inilah yang membuat diri ini sadar dan bermulalah
untuk terjun dimasyarakat melalui tahap yang dilihat tentu mudah dilakukan oleh
diri ini. Namun dibalik semua itu penulis juga meminta doanya pada pembaca agar
mampu tetap istiqomah dan diberi kesehatan juga dalam membagi waktu antara
mengaji, kuliah dan mengajar. Dan semoga semuanya yang dilakukan bermanfaat dan
berkah untuk semua.
Untuk pembaca
tulisan ini, semoga selalu dalam lindunganNya dan selalu diberikan keistiqomahan.
Komentar
Posting Komentar